Sabtu, 02 April 2016

The Demon


Peluh mengucur di tengah gelapnya perempatan di daerah padalaman yang mampu mengambil alih kuasa ketegangan Demian. Dibukanya kotak kecil yang telah berisi perlengkapan ‘kesepakatan’. Entah sejak kapan ia memercayai legenda ‘perpanjangan umur’ ini.

“Kau tidak serius akan melakukannya, bukan?”

“Kau tidak pernah tahu rasa tersiksa karena penyakit yang belum ditemukan obatnya.” Wajah Demian nampak pucat menatap sisa-sisa bekas suntikan di tubuhnya yang semakin banyak setiap harinya lewat remang cahaya bulan.

“Kau punya Tuhan.”

Hanya sunggingan sinis terpancar dari wajah pucat itu. Sesosok pemuda yang tak rela masa depannya ‘sia-sia’. “Dia tidak ada.”

Berdiplomasi dengan hati tanpa petunjuk dari-Nya sama dengan kesia-siaan belaka.

Pepohonan rindang di samping jalan mendadak tak bergerak. Seperti membeku seketika. Embusan napas Demian semakin pelan, ia merasakan getaran tepat di tempatnya berdiri saat ini. Hening berubah murka, angin kencang mendadak menyerbu. Demian tersungkur gelagapan.

“Pemuda malang, kau tahu resikonya?” Sesosok wanita cantik dengan gaun hitam menyapa. Ia hadir, ia benar-benar datang, legenda itu bukan bualan belaka.

Demian masih gelagapan, mencoba mengatasi keterkejutannya.

“Jika iblis secantik ini, bagaimana bisa banyak orang meninggalkannya,” lirih Demian.

“Kami berterima kasih, Demian. Kau telah memanggilku, itu artinya kepercayaan pada kami dari manusia sepertimu masih berlaku. Baiklah, kau punya segalanya kini. Kau memilih menyerahkan urusan ini pada kami dan kau mendapatkan apa yang kau mau.”

“Lalu, mana resiko yang kau maksud?”

“Bukan kejutan namanya jika aku beri tahu sekarang, Demian. Nikmati saja hidup barumu.” Uluran tangan gadis bergaun hitam tersebut disambut Demian. Telapak tangan itu terasa begitu dingin. Baiklah, itu berarti ….

Hitam. Gelap. Demian merasakan tubuhnya terhempas, terasa begitu berat. Tak terkendali. Dalam benaknya, tertawa penuh kemenangan, ia telah mampu melewatinya. Dia mengalahkan sang waktu, bukan? Hidupnya tidak akan berakhir secepat itu.

“Demian?”

Mata itu terbuka perlahan, sekeliling berubah dari hitam menjadi normal. Ia mengenali tempat itu, kamar pribadinya. Tentu itu bukan mimpi. Iblis itu membawanya dengan cara misterius dari perempatan tempat ia memohon 'kesepakatan'.

“Aku tak akan meninggalkanmu, Sayang.” Bisikan demi bisikan datang membuat Demian tidak mengerti. Siapa yang tak akan meninggalkan siapa? Suara wanita bergaun hitam itu ....

Tanpa sadar langkah Demian berhenti pada sebuah ranjang. Mana mungkin? Tubuh terbujur kaku itu? Lelaki itu tak mengerti, bagaimana bisa.

“Iblis menantimu di neraka.”

“Kesepakatan itu?”

“Bodoh. Sejak kapan Tuhan kalah dengan iblis?” Sesosok hitam semakin mendekat.

Demian Terkesiap. Tak bisa sembunyi ataupun lari. Tepat pada saat itu, detik itu juga, kejadian yang dialami Demian bersamaan dengan luruhnya sehelai daun dari rantingnya di atas sana. Tertulis nama Demian pada daun itu.

Catatan di lauh mahfudz tak pernah bisa diakali.

Minggu, 13 Maret 2016

[Resensi] Ayat-Ayat Cinta 2 : Menjawab Isu Islam Kontemporer Lewat Bahasa Sastra


Berbagai isu Islam kontemporer tak sedikit menyuguhkan konsep-konsep yang sangat membahayakan, pemikiran-pemikiran yang salah menimbulkan islamophobia yang pada akhirnya menciptakan antipati beberapa orang atau kelompok di luar islam menganggap islam itu teroris, islam itu monster, dan istilah-istilah lain yang jauh sekali dari kenyataan bahwa islam sebenarnya adalah agama yang mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.

Untuk tetap berpegang teguh pada syariat diperlukan perjuangan yang boleh dikatakan tak mudah apalagi di negara-negara yang umat muslim menjadi minoritas di sana. Namun, Fahri dengan keyakinan terhadap Allah yang begitu besar, menjadikannya untuk ingin selalu memperjuangkan agama yang dibawa Rasulullah Saw tersebut.

Fahri Abdullah, muslim asal Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, dan belajar teologi islam di sana, kemudian mengambil master di Pakistan. Selanjutnya ia menyelesaikan Ph. D di bidang Filologi di Albert-Ludwigs-Universitat Freidburg, Jerman. Namun saat ini ia tinggal di kawasan Stoneyhill yang berada di bagian selatan kota Musselburgh bersama Paman Hulusi, asisten Fahri berkebangsaan Jerman tetapi asli Turki. Keduanya menempati sebuah rumah di kawasan Stoneyhill Grove.

Lelaki yang pada kisah sebelumnya diceritakan telah menikah dan hidup bahagia bersama istrinya, Aisha, wanita blesteran Jerman-Turki, serta menikah dengan gadis koptik tetangganya di Hadayek Helwan, Kairo, yang begitu mencintainya, yaitu Maria, namun Maria yang menderita sakit ketika itu wafat setelah bersyahadat. Kini Fahri kembali dengan kisah kehidupannya yang penuh lantunan ayat-ayat indah dari Tuhannya.

Mengesampingkan sejenak kisah Fahri dengan segala lika-liku yang ia jalani pada kisah sebelumnya, Fahri yang kini tinggal di kota dengan julukan kota pelajar dan festival itu menjadi peneliti tamu sekaligus pengajar di University of Edinburgh yang berada di George Square yang legendaris itu berkawan baik dengan Profesor Charlotte, seorang yang berbeda keyakinan dengannya dan menjadi supervisor postdoc-nya. Awalnya Fahri belumlah menjadi pengajar tetap di University of Edinburgh, akan tetapi dalam perjalanan kisah hidupnya yang tak terlepas dari agamanya, akan mengantarnya menjadi pengajar tetap di salah satu universitas terbaik di Britania Raya itu. Debat-debat skala lokal bahkan internasional di Oxford Union menjadi salah satu prestasi gemilangnya yang membuktikan bahwa ia tetap mengutamakan dakwah di tengah kesibukannya yang tak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai seorang pembisnis yang memiliki jaringan bisnis di Jerman serta Inggris.

Keputusannya untuk tinggal kawasan Stooneyhill Grove, yang hanya terdiri dari belasan rumah hunian, membuatnya mengenal tetangga-tetangga di kawasan tersebut. Dan umumnya sebuah hubungan sosial bertetangga, perlahan Fahri mulai masuk dalam kehidupan mereka. Adalah Keira, gadis dengan mimik wajah yang selalu dingin saat bertemu dengannya, dan hal itu menuai tanya perlahan. Apakah gerangan yang membuat gadis itu tak bisa ramah pada Fahri. Tak hanya Keira, Jason, adiknya pun tak kalah, ia bahkan selalu bersikap tak manis pada tetangganya yang muslim itu. Ketiganya, ditambah ibu Keira, akan masuk pada sebuah arus suatu konflik yang krusial.
Bukan hanya mereka, masih ada beberapa tetangga yang nantinya memiliki konflik-konflik yang pelan-pelan juga akan menarik Fahri pada arus di dalamnya. Nenek Catarina, seorang nenek berumur 73 tahun dengan kepercayaan yahudi yang dianutnya, juga Brenda, perempuan muda, tetangganya yang tinggal di rumah hook.

Tak berhenti pada konflik tetangga-tetangga yang menyeret dirinya, pertemuan dengan Sabina, seorang muslimah berjilbab yang menjadi pengemis dan sempat terekspos media bahkan memunculkan pandangan negatif dari beberapa kalangan tentang agama islam serta penganutnya menjadi konflik semi sentral pada buku ini. Sedang konflik paling sentral ialah kehidupan pribadi seorang Fahri, kisah cintanya yang yang begitu syahdu sekaligus mengharukan. Konsep konflik yang saling berkelindan akan menguak apa sebenarnya visi, misi serta benang merah pada novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya novelis No. 1 Indonesia ini.

Sekuel merupakan hal menarik bagi pencipta dan penerbit karena ada risiko yang lebih kecil kembali terlibat dalam sebuah kisah yang diketahui popularitasnya, lain halnya dengan mengembangkan karakter baru dan belum teruji pengaturannya. Penonton (atau pembaca, jika itu sekuel sebuah novel) kadang-kadang bersemangat untuk lebih banyak cerita tentang karakter populer atau pengaturan. (Sumber: Wikipedia)

Agaknya, ulasan dari Wikipedia di atas terbukti kebenarannya pada sekuel Ayat-Ayat Cinta ini. Ayat-Ayat Cinta selain berhasil menembus meja redaksi dan menjadi best seller juga telah sukses diangkat ke layar lebar. Sekuelnya, dengan memakai judul yang sama, Ayat-Ayat Cinta 2 telah berhasil mengundang penasaran para pembaca, terbukti novel yang terbit pada November 2015 itu telah berada pada cetakan ke-10 pada Januari 2016.

Kembali megusung tema religi pembangun jiwa, Habiburrahman El Shirazy atau lebih dikenal dengan panggilan Kang Abik lagi-lagi menyihir pembaca dengan larik-larik aksara yang lebih berani, dinamis dan mengejutkan. Integritas penulis yang saat ini tinggal di Salatiga bersama keluarganya ini, dalam setiap karyanya tak diragukan lagi, Ayat-Ayat Cinta 2 seperti mengulang kembali kesuksesan Ayat-Ayat Cinta pertama. Barangkali tak lama lagi, atau mungkin sudah, prosuder film kembali melirik karya seorang fenomenal di dunia sastra ini.

Lazimnya sebuah karya yang mampu mengikat hati penikmatnya, novel Ayat-Ayat Cinta 2 memiliki sisi keunikan, kelebihan, yang menjadi daya tarik tersendiri dan menjadikannya beda dari karya-karya atau buku-buku yang lain. Berikut beberapa poin tersebut:

1. Pendeskripsian Setting

"Opening merupakan gerbang pembuka sebuah tulisan. Opening adalah sebuah pengikat yang membuat seseorang mau terus membaca sebuah karya" (Dikutip dari buku 101 Dosa Penulis Pemula karya Isa Alamsyah)

Ayat-Ayat Cinta 2 dibuka dengan pendeskripsian setting tempat dan suasana yang memukau. Terlihat sekali penulis paham betul setiap tempat yang ditempati atau dilalui para tokoh. Pembaca akan diajak merasakan setiap sudut-sudut itu tanpa sadar. Tehnik pendeskripsian yang ringan, detail, dan jelas menciptakan sensasi munculnya imajinasi pembaca. Ketika membaca novel ini, Anda akan merasa seolah-olah sebuah layar yang menampilkan lekuk keindahan Edinburgh di putar di dalam pikiran.

Tidak ada yang terlewat, setap sudut, setiap belokan, setiap gang, nama jalan, bangunan, restoran, mendapat porsi pendeskripsian yang pas, tanpa berlebihan ataupun kurang. Ayat-Ayat Cinta 2 ini merupakan novel kesekian kali karya Kang Abik yang bersetting luar negeri, dan semuanya membuktikan bahwa dalam melakukan sebuah riset atau perjalanan, penulis tidak main-main.

2. Penokohan

Tokoh sentral pada kisah ini, yaitu Fahri, kembali mengingatkan pada tokoh bernama Ayyas di novel Kang Abik sebelumnya, Bumi Cinta yang juga bersetting luar negeri, Moskow tepatnya. Keduanya sama-sama menggambarkan seorang hamba Allah yang tak hanya taat beribadah, tetapi mengaplikasikannya dalam kehidupan serta mendakwahkan secara perlahan tanpa menggurui lawan bicara mereka.

Kesederhanaan serta kearifan Fahri tetap terjaga meskipun kini ia terbilang menjadi seorang pengajar serta pembisnis sukses. Kedermawanannya tak pernah ingin ia tunjukkan kepada orang lain, bahkan ketika membiayai seorang Keira yang sejak awal teramat membencinya untuk meneruskan cita-cita menjadi seorang pemain biola terkenal bahkan hingga meraih juara dunia.

Duhai, pembaca akan dibuat jatuh cinta dengan lelaki shalih yang dalam setiap embus napasnya tak pernah alpha melantunkan dzikir-dzikir kepada Tuhannya. Pemikirannya yang cemerlang dalam menghadapi suatu permasalahan merefleksikan bahwa ia telah berhasil mengaplikasikan ilmu-ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap tokoh dalam karya ini mendapatkan porsi yang pas, pengolahan sisi emosional sang tokoh diramu apik oleh penulis, hingga pembaca akan merasa berhadapan secara langsung dengan tokoh-tokohnya dalam setiap dialog maupun perilaku-perilaku mereka. Dan tentunya, tak ada kesan bernama tempelan di dalamnya.

3. Konflik

Poin ini yang paling menarik. Novel Ayat-Ayat Cinta 2 yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya, yang artinya meneruskan kisah tokoh utama, di mana pada kisah sebelumnya ialah kehidupan Fahri bersama istri tercintanya, Aisha. Pada bagian awal, pembaca akan dibuat bertanya-tanya di mana Aisha? Mengapa Fahri hanya tinggal bersama Paman Hulusi? Tak ada penjelasan detail pada bab-bab awal, penulis seperti ingin membangkitkan rasa penasaran pembaca.

Apakah Aisha telah menyusul Maria? Ia tidak tahu harus seperti apa mendoakan Aisha. Ia terus berdoa kepada Allah agar Dia terus mengasihi istrinya, dan terus menyelimutinya dengan selimut rahmat dan taufik, baik ia masih hidup ataukah telah tiada. (Halaman 17)

Kepedihan yang dirasakan Fahri akibat dari kerinduan pada sang istri seolah mengaduk-aduk perasaan pembaca. Kesetiaan lelaki ialah permata, namun akankah kecintaan yang begitu dalam itu akan dibiarkan mengalahkan kecintaannya pada Allah dan Rasul?

Semua pertanyaan pembaca tidak akan serta-merta mudah ditemukan jawabannya, hingga halaman 114 semua terjawab perlahan-lahan. Namun tetap menyisakan tanya bagaimana keadaan Aisha. Ini menarik sekali, karena pembaca tak akan berhenti dari membalik tiap lembar demi mendapatkan jawaban hingga bab terakhir.

Kesetiaan serta kasih sayang Fahri digambarkan begitu jelas pada poin ini. Selain konflik dalam kehidupannya sendiri, konflik yang lain juga akan membawanya pada dunia dakwah yang merupakan sumbu tujuan hidupnya. Demi mengharap ridho Allah, ia menggunakam harta miliknya dan Aisha untuk jalan dakwah, membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tanpa tanggung-tanggung, bahkan sekalipun orang tersebut sangat membencinya.

Konflik dari tokoh-tokohnya yang cukup banyak menjadi padu padan saling berkaitan sehingga tidak ada kesan melebar keluar dari fokus benang merah pembangun jiwa.

4. Jawaban Atas Isu-Isu Islam Kontemporer

Lewat debat dan diskusi yang diikuti Fahri, penulis seakan menggambarkan realita kondisi umat saat ini, entah itu umat islam yang terkadang masih ada yang belum memahami betul tentang agamanya. Sehingga terkadang perilaku mereka yang jauh di luar ajaran islam menjadi senjata umat lain semakin sengit memberikan cap negatif pada islam. Padahal, jika ditilik lebih dalam, bukanlah islamnya yang salah, tetapi manusianya. Misalnya pada kasus-kasus bom bunuh diri, teroris, yang pelakunya adalah umat islam. Lewat ilmu dan pengetahuan Fahri, ia menjelaskan secara gamblang baka terkadang lewat analogi-analogi ringan yang sangat mudah dipahami.

"Kalau kau punya pohon apel, hanya satu dua saja yang buahnya busuk, apakah fair mengatakan seluruh apel itu busuk?" (Halaman 9). Demikian jawaban Fahri ketika seorang mahasiswi asal Cina bernama Juu Suh, yang mempertanyakan kalau Al Qur'an mengajarkan yang sedemikian baiknya, kenapa masih ada orang islam yang melakukan bom bunuh diri.

Bukan hanya sampai di situ, bahkan ketika dihadapkan pada orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa bangsa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, maka orang-orang di luar mereka wajib di tumpas habis tanpa pandang bulu, Fahri dengan penguasaan ilmu yang bersumber dari Al Qur'an dan hadist mampu mematahkan pernyataan mereka. Itu pula yang terjadi di forum debat Oxford Union yang merupakan forum debat internasional, tanpa gentar Fahri membuka pandangan serta mematahkan argumen lawan debatnya.

Masih banyak jawaban-jawaban atas isu-isu terkait umat islam saat ini yang berhasil dijelaskan oleh penulis. Semuanya akan berhasil membuka pemahaman para pembaca terkait masalah-masalah yang kini sedang dihadapi umat.

5. Petikan-Petikan Sejarah

Petikan-petikan sejarah yang disampaikan lewat dialog-dialog fahri dengan lawan bicara seolah mengajak pembaca untuk kembali pada kisah atau hal yang berhubungan dengan sejarah islam pada masa lalu. Salah satu petikan tersebut ialah sejarah tentang William Ewast Gladstone, yang pada masanya yaitu beberapa tahun sebelum perang dunia I meletus, begitu berpengaruhnya umat islam dan secara konsep peradaban islam tiada tandingannya William yang ketika itu menjabat sebagai perdana menteri inggris berkata kepada media inggris, "Selama kaum muslim memiliki Al Qur'an, kita tidak akan bisa menundukkan mereka. Kita harus mengambilnya dari mereka, menjauhkan mereka darinAl-Qur'an atau membuat mereka kahilangan rasa cinta kepada kitab suci mereka. (Halaman 94)

Ada juga kisah bagaimana Rasulullah Saw dan para sahabat merelakan hartanya untuk terus berjuang di jalan dakwah hanya demi mengharap ridho Allah. Konsep itulah yang semakin membuat Fahri yakin bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk Allah, untuk beribadah kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

6. Muatan Religi dan Sosial

Agama tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Semakin seseorang memahami agamanya dan selalu ingin mendapat hanya ridho Allah, maka ia akan selalu berusaha menjadi muslim yang hanif, penuh cinta dan kasih sayang, serta berakhlakul karimah kepada siapa saja. Itulah yang coba disampaikan pada novel pembangun jiwa ini. Bahasa yang ringan serta lugas membuat pembaca mudah meresap pesan-pesan tersurat maupun tersirat oleh para tokohnya.

Setiap bab menawarkan beberapa pelajaran tersendiri, di mana di dalamnya hikmah-hikmah dasyat akan muncul bahkan beberapa mampu mengetuk relung hati terdalam kita sebagai umat islam untuk selalu meningkatkan kualitas iman.

Sedang kisah cinta Fahri kepada Aisha mengajarkan tentang kesetiaan, keikhlasan serta perjuangan. Kebesaran hati seseorang diuji teramat dalam pada bagian ini. Pembuktian bahwa Allah itu ada, Allah itu dekat. Nampaknya novel setebal 697 halaman ini tak akan terasa tebal ketika pembaca telah larut pada tiap-tiap lembarnya yang penuh hikmah.

"Sekali nafsu itu kau manjakan, maka nafsu itu akan semakin kurang ajar dan tidak tahu diri! Jangan pernah berdamai dengan nafsu! Sekali kau berdamai, maka nafsu itu akan menginjak harga dirimu dan menjajahmu! Jangan beri kehormatan sedikit pun pada nafsumu. Perlakukan dia sebagai makhluk hina, penghianatan yang tidak boleh diberi ampun!" (Halaman 80)

Tanpa mengurangi kekaguman terhadap novel yang mampu menciptakan revolusi mental hakiki karya Kang Abik ini, ada beberapa kekurangan terkait teknis dalam cetakan kesepuluh ini.

Di antaranya, ketidakkonsitenan penggunaan kata 'Saya' dan 'Aku' di beberapa paragraf.
"Aku tidak mau membicarakan hal itu dulu. Saya harus pergi. Sampai jumpa lagi." (Halaman 62)

Juga masih terjadi pada salah satu paragraf di halaman 80, 117, 164 dan 292. Ditemukan pula sedikit typo dan kesalahan peletakan tanda baca.

Setelah Heba, pulang Fahri menuntaskan satu pekerjaannya di kamar kerja ... (Halaman 123)

Terlepas dari segelintir kekurangan di atas, tak mengurangi kualitas novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Rasa penasaran akan mengantar pembaca pada ending yang memukau. Kenyataan yang harus diterima Fahri dari penantian atas Aisha, apakah kesetiaan itu akan melebur apabila ia menikah lagi? Lalu, bagaimana kelanjutan penyelesaian dari masalah isu-isu yang masih saja menyudutkan umat islam? Temukan jawabannya pada novel di mana bab terakhirnya ditulis dalam perjalanan Salatiga-Solo-Jakarta-Kuala Lumpur-Tanjung Malim, pada 30 Oktober 2015 dan selesai pada 31 Oktober 2015 itu.

Sebagai penutup, barangkali kalimat-kalimat hikmah Al Haris Al Muhasibi yang diurai dengan fasih oleh Fahri berikut dapat menjadi salah satu motivasi untuk selalu berusaha menjadi umat terbaik Rasulullah Saw.

"Wa'lam annahu laa thariqa aqrabu minash shidqi, wa laa daliila anjahu minal 'ilmi, wa laa zaada ablaghu minat taqwa."

(Dan ketahuilah, tidak ada jalan yang lebih dekat dari kejujuran, Tidak ada dalil yang lebih berhasil dari ilmu, dan tidak ada bekal yang lebih sampai dari takwa)




Identitas Buku:
Judul: Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Republik Penerbit
Editor: Syahruddin El-Fikri dan Triana Rahmawati
Cover: Putri Suzan Nurtania
Tebal: 697 halaman
Terbit: Cetakan X, Januari 2016


Tegal, 23 Februari 2016

Kehidupan Kedua



Ketika mulai membuka mata, seulas senyum tersungging dari bibirku yang sedari tadi terkatup menahan kata-kata kasar serta sumpah serapah balasan yang memberontak ingin keluar. Kembang kempis dadaku mulai normal seiring sapuan pandangan pada tiap sudut tempat ini. Kukatakan untuk diriku sendiri, inilah kehidupan yang sebenarnya, yang memberi arti berbeda dan pemahaman yang luas. Tak melulu tentang mulut kasar wanita berumur lima tahun di atasku itu. Wanita yang lebih pantas menjadi kakakku.

Pantulan sinar perak di permukaan air laut seperti melambai-lambai ingin menyuruhku untuk mengarunginya. Tentu saja, aku akan datang, hanya butuh perahu untuk tiba di sana. Bahkan aku ingin sekali tinggal lebih lama. Meninggalkan kehidupan yang membosankan ini. Dulu ibu pernah berkata bahwa tempat paling mengerikan adalah neraka. Bukan. Ibu salah. Tempat paling mengerikan adalah rumah.

Terkadang aku bergumam pada Tuhan, ingin bertemu ibu pada salah satu tempat yang sering kukunjungi. Walaupun Tuhan sepertinya belum menjawab, aku tidak pernah marah. Setidaknya aku tidak mati berdiri di rumahku sendiri akibat ulah wanita itu.

Sebuah perahu hendak berlabuh, pikirku itu pasti perahu milik nelayan seperti biasanya. Kupicingkan mata memastikan. Seseorang turun dan begitu selesai menambatkan perahu di tepi pantai ia berjalan ke arahku. Dari perawakannya sama sekali tak nampak sosok pelaut yang biasanya berkulit agak gelap karena tamparan sinar matahari setiap hari. Atau bisa jadi dia seorang pangeran yang dikirim Tuhan untuk menemani kesepianku ini? Ya Tuhan, igauan apa ini?

Parasnya tidak biasa, seperti bukan penduduk asli tempat ini. Aku hafal betul. Tingginya pasti lebih dari 165 cm. Semakin dekat, raut mukanya semakin jelas. Aku tidak percaya ada lelaki sesempurna itu. Dia membuatku hanyut dalam sekali pandang. Astaga ....

"KAU ... BISA-BISANYA DUDUK SANTAI DI SINI." Sebuah teriakan bersamaan dengan cengkeraman kuat di rambutku membuatku terkejut dan seketika menjatuhkan benda di tangan. Tanpa permisi wanita itu telah memasuki kamarku dan memperlakukanku bak budak yang tak tahu diri. Ya Tuhan, kupikir kisah tentang ibu tiri hanya ada di sinetron.

Pemuda tadi ..., terpaksa aku meninggalkannya. Kuambil buku yang baru saja kubaca sambil menahan rasa pening di kepala. Sebuah pembatas sempat kutempatkan pada halaman tepat di mana pemuda itu sedang menghampiri tokoh wanita yang sedang duduk bersandar pada pohon di tepi pantai.

Sumber gambar: ngadem.com


Tegal, Desember 2015

Senin, 11 Januari 2016

Buat Apa Repot dan Capek Memasak?


Sering sekali saya melihat resep-resep makanan, camilan, minuman serta jajanan-jajanan berseliwaran di beranda FB. Penampilannya saya katakan memang berhasil menggoda siapapun yang melihatnya. Ah dunia maya, memang hanya mampu menggoda, mencicipi postingan kuliner pun tidak mungkin, bukan? Banyak pula komentar antusias ingin mempraktekkan resep tersebut. Tapi saya bukanlah salah satu di antaranya.

Menjalani kehidupan dengan menyukai hal-hal instan, termasuk mie instan, karena saya adalah salah satu alumni penghuni kost selama lebih dari tiga tahun, membuat saya menggelengkan kepala untuk hal-hal yang terlihat repot, rumit, ribet bin capek. Salah satunya masak-memasak. Sebelum membayangkan susahnya membedakan mana merica mana ketumbar, mana jahe mana laos, terlebih dahulu saya kesulitan membayangkan berkeliling pasar yang penuh pengunjung pagi-pagi sekali untuk berbelanja. Belum lagi jika di pasar tradisional, lelahnya tawar-menawar harga. Lagi-lagi saya katakan tidak. Tak sampai di situ, bahan-bahan mentah dari pasar yang beralih ke dapur harus diolah sedemikian rupa, meraciknya dengan pas. Dilarang keasinan, pun kurang asin. Dan setelah berlelah-lelah makanan itu akan habis dalam sekali makan yang tak lebih dari 30 menit memakannya, saya rasa itu bukan imbalan yang pas mengingat jungkir baliknya ketika memasak. Sampai di sini saya sama sekali belum paham di mana letak asyik dan seru serta syahdunya memasak.

Untuk kesekian kalinya saya katakan tidak dan memilih untuk membeli makanan jadi. Jika di rumah pun, yang saya tahu ialah makanan matang yang sudah tersedia di meja makan setiap kali perut berontak karena lapar.

Adakah sahabat pembaca mengalami hal tersebut? Postingan ini tidak hanya berisi tentang saya yang anti masak-memasak lalu sudah dan selamanya saya akan membeli makanan matang kecuali masakan ibu saya. Tidak akan berhenti di sini.

Tunggu dulu, dua paragraf awal di atas ialah hal yang saya rasakan dulu. Dulu. Tepatnya sebelum delapan bulan yang lalu. Perasaan seorang jomblo yang pernah galau karena resah perihal jodoh yang belum bertamu. Perasaan tersebut berubah delapan puluh derajat semenjak seseorang mengubah hidup serta status jomblo milik saya menjadi tak jomblo lagi (ah lebay).



Agaknya boleh dikatakan sedikit terlambat saya memahami spesialnya menjadi seorang ibu yang memasak untuk keluarganya. Saya memahaminya justru setelah saya menikah dan tak sesering dulu merasakan lezatnya masakan ibu yang telah dibuatnya dengan cinta setiap harinya. Tapi tak apa, terkadang terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali, bukan?

Tak saya pungkiri tentang kesulitan membedakan mana merica dan mana ketumbar, mana jahe dan mana laos, sampai melibatkan suami perihal urusan dapur. Bersyukurnya saya karena dianugerahi seorang suami super sabar dan penuh kasih sayang serta pengertian. Memasak bagi saya memanglah sebuah perjuangan panjang demi mendapat seporsi atau lebih hidangan yang nantinya akan saya nikmati bersama suami. Pada awalnya saya tidak yakin. Benarkan saya mau belajar memasak? Jungkir balik mengenali bau rempah-rempah agar tak salah meracik bumbu? Lalu mengalahkan rasa malu pada suami karena pada kenyataannya beliau jauh lebih pandai memasak? Saya tidak yakin sampai pada akhirnya takdir memaksa saya memasak atau mau menyaksikan suami saya akan kelelahan jika memasak setelah bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Akankah saya sejahat itu?

Duhai, salah satu nasehat Rasulullah kepada Fathimah Azzahra juga sempat menjadi renungan bagi saya yang punya mimpi menjadi seorang istri shalihah meski saya sadar masih teramat jauhlah saya dari gelar itu. Ialah ketika Fathimah ra menangis akibat tangannya yang terluka ketika menggiling gandum untuk suaminya. Rasul berkata, "Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah Azza wa Jalla menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat."

Betapa dhoifnya jika saya tetap berjalan pada prinsip keinstanan dan sama sekali tak mau belajar memasak hanya karena tak mau merasa lelah dan repot. Bagaikan sebuah tamparan didaratkan pada jiwa saya dan membuat saya terbangun.

Di dalam prosesnya yang sederhana, karena masakan yang saya masak pun memang terbilang sederhana, ternyata selalu menyimpan kebersamaan antara kami. Salah satu yang baru saya sadari, bahwa ada perasaan bahagia yang tak ternilai harganya, entah bagaimana menyebutnya, ketika hasil masakan kita dinikmati orang-orang terkasih. Melihat mereka tetap lahap tanpa mencela rasa, meskipun saya dan mereka sama-sama tahu bahwa rasa masakan saya masih jauh dari lezat apalagi sempurna seperti masakan kedua ibu saya. Itulah harga yang terbayar, itulah jawaban dari pertanyaan awal saya, imbalan apa yang mereka dapat dari memasak, merepotkan dan melelahkan diri di dapur. Kebahagiaan. Ketika kita melakukan sesuatu dengan keikhlasan dan kasih sayang, tak akan ada perasaan bernama kelelahan dan kerepotan. Terakhir, di mana letak asyik, seru serta syahdunya memasak? Ialah di sini, dalam hati.

Tegal, 11 Januari 2016

Sudut Asing





Sudut-sudut yang baru kukenal beberapa hari, yang kutahu hingga kemarin lusa, sebelum status itu berubah, tempat sejenis ini hanya kudatangi tiap perutku berontak karena kosong. Itupun yang kulihat adalah menu-menu yang siap untuk disantap. Tanpa tahu bagaimana Ibu membuatnya.

Kepala mendadak pening, mengingat kemarin baru saja aku salah memasukkan lengkuas pada nasi goreng yang akan kuhidangkan pada orang terkasih.

Bau rempah-rempah ditumis menyadarkanku yang masih berdiri menatap sudut-sudut ruang yang penuh dengan perabot asing. Alat-alat dapur. Kuremas pelan buku dan pulpen di tangan tanpa sadar hingga mengeluarkan suara.

"Nak? Kau baik-baik saja?" tanya wanita dengan mata teduh sambil membalikkan badan menatapku lamat-lamat.

Aku tercekat, menyunggingkan senyum lalu mendekati beliau. Tangan beliau sedang memegang--entah apa sebutannya, sudah kubilang segala perabotan di ruangan ini adalah asing bagiku. Beliau menumis bumbu yang sedari tadi mengeluarkan bau harum. 

"Mah, tolong ajari saya memasak," ucapku menahan malu. Namun jika terus malu, bisa jadi suamiku akan merasakan lengkuas tak hanya di nasi goreng. Jangan-jangan pada sayur sop. Oh, tidak.

Wanita pemilik mata teduh yang kini kupanggil mamah itu tersenyum kembali menatapku. Maafkan menantumu ini, Mah, yang begitu payah dalam urusan dapur.

Tegal, 13/08/2015

Rabu, 06 Januari 2016

[Resensi] Perjalanan Spesialis Penyelesai Konflik




Judul Buku: Pulang
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit
Cover: Resoluzy
Lay Out: Alfian
Cetakan: VI, November 2015
Tebal: iv+ 400 halaman
ISBN: 978-602-082-212-9
Peresensi: Anis Marzela

Blurb:

"Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya."

Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.

****

Kedatangan Tauke Muda, kepala Keluarga Tong ke talang Rimba Sumatra yang seolah-olah ingin berburu ternyata membawa sebuah misi. Perjanjian masa lalu. Ia datang untuk menjemput Bujang, remaja berumur 15 tahun. Remaja yang kelak ketika ia dewasa dan telah melalui sebuah proses panjang menjadi lelaki yang ketika disebut namanya maka gentar orang yang mendengarnya, bahkan seorang presiden sekalipun.

Kepergian Bujang ke Kota Provinsi tanpa diantar lambaian tangan dari mamak serta tanpa pelukan dari bapaknya. Kelak, ia akan tahu tentang kisah masa lalu, hari ini, serta masa depan yang saling berkelindan.

Sejak menjadi anggota Keluarga Tong, tak ada definisi pulang bagi Bujang. Karena ia merasa Keluarga Tong-lah rumahnya. Di tempat itu ia tak hanya dididik menjadi seorang tukang pukul seperti bapaknya dulu, lebih dari itu kelak ia menjadi tukang pukul nomor satu yang berpendidikan, cerdas, penuh perhitungan serta perincian. Spesialis penyelesai konflik nomor satu. Menariknya, Bujang kelak juga berjuang untuk memahami hakekat pulang sebenarnya. Tentang bagaimana ia mampu memeluk erat masa lalu, kebencian, kesakitan, serta ketakutan.

Tere Liye kembali menyuguhkan kisah menarik bernuansa action dalam novel Pulang. Jika ditilik dari judulnya, mungkin ada beberapa pembaca yang akan sedikit terkecoh tak mengira bahwa isinya dipenuhi adegan-adegan menegangkan.

Karakter tokoh Bujang mengingatkan pada tokoh Thomas di dua novel sebelumnya, Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. Sama-sama memiliki karakter kuat, pantang menyerah dan pejuang kesetiaan. Jika pada novel sebelumnya Tere Liye membongkar konspirasi para mafia, maka di novel ini Tere Liye juga mengangkat sebuah konspirasi, tentang penguasa shadow economy, ekonomi bayangan yang akan membuat pembaca bertanya-tanya, apakah ini nyata atau hanya fiktif.

"Shadow economy adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Oleh karena itu orang-orang juga menyebutnya black market, underground economy. Kami tidak dikenali oleh masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah, dan jelas tidak diliput di media massa. Kami berdiri di balik bayangan. Menatap semua sandiwara kehidupan orang-orang." (Hal. 30)

Jika pasukan militer milik pemerintah punya prosedur saat hendak menyerang, ada negoisasi dan tahapan-tahapan, lain halnya dengan kami. Sekali kami jengkel, seluruh desa asal perompak itu bisa dihabisi. Mereka menahan kapal kamu, maka kami akan menahan seluruh keluarganya. Mereka melukai awak kapal kami, maka kami akan melukai seluruh keluarganya. (Hal. 196)

Kepiawaian Tere Liye yang tak perlu diragukan lagi berhasil menggiring penikmat novel Pulang untuk ikut hanyut dalam cerita. Salah satunya merasakan sensasi bagaimana Bujang dan dua gadis kembar dari Jepang terlontar dari gedung satu ke gedung sebelahnya yang berjarak lima puluh meter pada ketinggian lantai dua puluh lima.

Alur maju-mundur yang digunakan Tere Liye dalam mengisahkan perjalanan Bujang begitu smooth, setiap bab memiliki lanjaran cerita dengan bab lainnya, jadi tak ada hal bernama tempelan pada novel ini. Amat terlihat pula bahwa penulisan novel ini melewati riset yang mendalam.

Bukan Tere Liye jika di dalam karyanya tanpa memuat pesan perihal pemahaman kehidupan. Semenjak Bujang masih tinggal bersama Mamak dan Bapak, banyak hal yang ia alami, pesan-pesan Mamak yang membawanya menuju hakekat arti kepulangan. Hingga sebuah penghianatan terhadap Keluarga Tong yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga mereka. Lalu, akankah Bujang berhasil mengatasi semua musuh-musuhnya? Bagaimana dengan musuh terbesar dalam hidupnya, yakni dirinya sendiri. Kemudian, di manakah benang merah tentang sebuah kepulangan? Novel Pulang akan menjawab semua pertanyaan itu dengan bahasa lugas, ringan dan tanpa menggurui.

Akan selalu ada hari-hari menyakitkan dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya, memulai bab yang baru bersama matahari terbit. (Hal. 345)

Masih pada istilah tak ada gading yang tak retak, novel ini memiliki sedikit kekurangan. POV 1 yang digunakan Tere Liye sedari awal mendadak kehilangan konsistensinya pada beberapa bagian. Salah satunya yang mencolok ialah pada halaman 351. Bagaimana bisa Bujang yang saat itu sedang berkomunikasi melalui telepon dengan White, salah satu sahabatnya, bisa tahu bahwa White sedang menggaruk kepala. Kedua, masih di halaman yang sama, begitu Bujang menutup telepon, diceritakan bahwa White sedang meletakkan gagang telepon lalu berteriak memanggil koki dan pelayan restorannya.

Terlepas dari kekurangan tersebut, Tere Liye tetap menjadi salah satu penulis dalam negeri yang karya-karyanya berhasil memukau dan membuka pemahaman perihal kehidupan pada pembacanya lewat muatan religi serta pesan moral yang dikemas begitu apik. Begitu memulai membaca halaman pertama, segera ingin menamatkan, begitu tamat, pembaca akan berharap keluar sekuel novel Pulang selanjutnya.

Tegal, 18 Desember 2015

Selasa, 05 Januari 2016

Lukisan di Rumah Emily

Sumber gambar: www.myhostingmall.com

Lebah di dalam lukisan atau lukisan berhias lebah? Entahlah bagaimana menyebutnya. Berkali-kali menatap lukisan yang dipajang di ruang tamu milik keluarga Emily membuatku tidak bisa tidur nyanyak. Padahal itu hanya sebuah lukisan. Kata Emily, gadis berambut pirang yang pendiam itu, lukisannya berasal dari pamannya di kota sebelah. Tebakanku pun benar, bahwa lelaki yang sedang ketakutan dengan kedua tangan menahan sesosok lebah raksasa berwarna hitam pekat dengan dihiasi totol-totol putih yang kontras pada punggungnya yang seolah sedang melompat ke arahnya itu ialah potret pamannya.

"Dari pandanganku lukisan ini memang indah, namun sangat menakutkan dan tidak cocok untuk dijadikan hadiah dalam sebuah pesta pernikahan. Ada-ada saja pamanmu." Komentar yang kulontarkan berkali-kali itu hanya dibalas dengan senyum oleh Emily, dia memang bukan tipe teman yang banyak bicara.

Aku mengenal Emily setahun yang lalu, sejak ibu mengajak pindah ke kota kecil yang asri ini. Tadinya aku keberatan meninggalkan tempat tinggal lamaku karena takut tidak akan betah di sini. Namun sebaliknya, meskipun Emily pendiam, dia adalah teman yang pengertian dan tahu kapan ia harus berpendapat. Satu yang masih membuatku bertanya-tanya, Emily tertutup sekali soal keluarganya.

Semakin sering aku berbicara tentang lukisan, Emily menunjukkan kekurangsukaannya. Setahun perkenalan kami sepertinya tak cukup membuatku mengerti sosoknya yang sedikit misterius. Bahkan aku baru tahu dia menyimpan seperangkat kuas beserta kanvas lengkap dengan cat warna di bawah ranjangnya. Padahal tak kujumpai selembarpun lukisan buatannya--atau belum.

"Kenapa pamanmu mau menjadi korban dalam lukisannya?" tanyaku membuat Emily tersentak. Tidak, bukan, kisah ini tidak berakhir dengan kenyataan bahwa pamannya benar-benar terjebak dalam lukisan. Lebih dari itu kejadian berikutnya membuatku menyesal seumur hidup karena pindah ke kota ini. Kota lukisan dengan pelukis yang berperan dalam lukisannya sendiri. 

Di belahan bumi yang lain seseorang sedang menyaksikan proyeksi sebuah lukisan gadis yang nampak kebingungan menatap lukisan lebah bersama gadis berambut pirang.

November 2015